Selasa, 27 Desember 2011

ANGGREK DENDROBIUM


PERBANYAKAN ANGGREK DENDROBIUMDi Indonesia, tanaman anggrek Dendrobium sebagai sumber genetik banyak dijumpai di hutan belantara. Baru sebagian kecil anggrek alam yang dimanfaatkan sebagai induk persilangan, antara lain karena terbatasnya pengetahuan mengenai sifat-sifat penurunannya. Sebagian besar sumber daya genetik tersebut belum dimanfaatkan sebagai induk silangan. Dendrobium merupakan jenis anggrek alam yang menarik perhatian para penyilang untuk dirakit menjadi varietas baru. Menilik perkembangan industri anggrek di Indonesia pada tahun 1997−1999, saat krisis ekonomi melanda Indonesia, mengalami penurunan. Seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian sekitar tahun 2000-an, industri anggrek mulai menunjukkan peningkatan, namun mulai tahun 2007 menurun kembali. Demikian pula impor anggrek mengalami peningkatan pada tahun 2003−2006 dan menurun pada tahun 2007−2008 (BPS, 2009).

Cara paling efektif untuk menyilangkan anggrek adalah dengan persilangan. Meskipun kita ketahui bahwa teknik ini telah dilakukan sejak dahulu. Penyilangan anggrek sering menemui hambatan akibat ketidaksesuaian genom tetua. Untuk mengatasi masalah dalam penyilangan tetua yang berbeda, dapat diterapkan teknik pelipatgandaan jumlah kromosom dengan perlakuan kolkhisin. Bunga yang bersifat steril (triploid) tetapi mempunyai sifat dominan dalam jumlah bunga atau kerajinan tanaman berbunga, sebaiknya dijadikan sebagai induk betina. Selain dengan persilangan, peningkatan kualitas dan variasi bunga potong dapat dilakukan dengan perendaman dalam larutan kolkhisin. Kolkhisin banyak digunakan dalam penggandaan kromosom pada tanaman haploid hasil kultur antera. Tanaman haploid hasil penggandaan tersebut dapat diaplikasikan untuk program pemuliaan. Keuntungan dari penerapan teknik penggandaan ini adalah kemungkinan yang lebih awal dalam pengikatan rekombinan. Sifat gamet jantan pada serbuk sari dalam suatu populasi tanaman hibrida F1 akan menunjukka pola segregasi yang akan dimunculkan pada tanaman generasi F2, F3 dan seterusnya. Dengan menggunakan teknik kultur haploid akan dihasilkan tanaman yang bersifat diploid homozigot yang stabil.

(Dirangkum dari berbagai sumber, untuk gambar:anggrekku.wordpress.com)

Kamis, 27 Oktober 2011


Beberapa waktu kemarin telah ditemukan spesies cacing tanah kelompok abu-abu di kawasan Gunung Salak di Jawa Barat, dengan panjang lebih dari 1,5 meter. Kadang-kadang pendaki melihatnya ketika curah hujan tinggi dan terjasi hujan sepanjang hari di seluruh wilayah gunung. Cacing raksasa berwarna biru ini (Metaphire longa) oleh penduduk setempat disebut cacing sonari atau cacing bernyanyi, karena dapat mengeluarkan suara seperti peluit di malam hari. Cacing Sonari adalah sejenis cacing tanah.

Cacing tanah oleh beberapa praktisi dikelompokan berdasarkan warnanya yaitu kelompok merah dan kelompok abu-abu. Kelompok warna merah antara lain adalah Lumbricus rubellus (the red woorm), L. terestris (the night crawler), Eisenia foetida (the brandling worm), Dendroboena, Perethima dan Perionix. Sedangkan kelompok abu-abu antara lain jenis Allobopora (the field worm) dan Octolasium (Listyawan, et.al. 1998). Pada dasarnya cacing tanah adalah organisme saprofit, bukan parasit dan tidak butuh inang. Usia cacing tanah bisa mencapai 15 tahun, namun umur produktifnya hanya sekitar 2 tahun.

Jenis cacing yang umum dikembangkan di Indonesia adalah L. rubellus. Cacing ini berasal dari Eropa, ditemukan di dataran tingi Lembang - Bandung oleh Ir. Bambang Sudiarto pada tahun 1982. Dilihat dari morfologinya, cacing tersebut panjangnya antara 80 – 140 mm. Tubuhnya bersegmen-segmen dengan jumlah antara 85 – 140. Segmentasi tersebut tidak terlihat jelas dengan mata telanjang. Yang terlihat jelas di bagian tubuhnya adalah klitelum, terletak antara segmen 26/27 – 32. Klitelum merupakan organ pembentukan telur. Warna bagian punggung (dorsal) adalah coklat merah sampai keunguan. Sedangkan warna bagian bawah (ventral) adalah krem. Pada bagian depan (anterior) terdapat mulut, tak bergigi. Pada bagian belakang (posterior) terdapat anus (Listyawan, et.al. 1998).

Cacing tanah tidak dapat dibedakan jenis kelaminnya karena cacing bersifat hermaprodit alias dalam satu tubuh terdapat dua alat kelamin, jantan dan betina. Namun cacing tanah tidak dapat melakukan perkawinan sendirian. Untuk kawin ia membutuhkan pasangan untuk pertukaran sperma (Simandjuntak, 1982).

Cacing tanah termasuk makrofauna berperan sebagai soil ecosystem engineers yaitu memperbaiki struktur, porositas dan aerasi tanah. Ia murni organisme penghancur sampah dan pencacah serasah organik di dalam tanah. Nah, tinggal bagaimana kita dapat memanfaatkan ukuran morfologis dari makrofauna ini untuk mewujudkan sistem pertanian yang berkelanjutan yang ramah lingkungan. Secara logika semakin besar ukuran cacing tanah, seresah organik yang dicacah (dekomposisi) semakin banyak sehingga seresah yang terdiri atas pupuk organik (pupuk kascing) tersebut bisa langsung diserap oleh tanaman.

Dirangkum dari berbagai sumber.

Gambar : dunia-panas.blogspot.com

CACING RAKSASA


Beberapa waktu kemarin telah ditemukan spesies cacing tanah kelompok abu-abu di kawasan Gunung Salak di Jawa Barat, dengan panjang lebih dari 1,5 meter. Kadang-kadang pendaki melihatnya ketika curah hujan tinggi dan terjasi hujan sepanjang hari di seluruh wilayah gunung. Cacing raksasa berwarna biru ini (Metaphire longa) oleh penduduk setempat disebut cacing sonari atau cacing bernyanyi, karena dapat mengeluarkan suara seperti peluit di malam hari. Cacing Sonari adalah sejenis cacing tanah.

Cacing tanah oleh beberapa praktisi dikelompokan berdasarkan warnanya yaitu kelompok merah dan kelompok abu-abu. Kelompok warna merah antara lain adalah Lumbricus rubellus (the red woorm), L. terestris (the night crawler), Eisenia foetida (the brandling worm), Dendroboena, Perethima dan Perionix. Sedangkan kelompok abu-abu antara lain jenis Allobopora (the field worm) dan Octolasium (Listyawan, et.al. 1998). Pada dasarnya cacing tanah adalah organisme saprofit, bukan parasit dan tidak butuh inang. Usia cacing tanah bisa mencapai 15 tahun, namun umur produktifnya hanya sekitar 2 tahun.

Jenis cacing yang umum dikembangkan di Indonesia adalah L. rubellus. Cacing ini berasal dari Eropa, ditemukan di dataran tingi Lembang - Bandung oleh Ir. Bambang Sudiarto pada tahun 1982. Dilihat dari morfologinya, cacing tersebut panjangnya antara 80 – 140 mm. Tubuhnya bersegmen-segmen dengan jumlah antara 85 – 140. Segmentasi tersebut tidak terlihat jelas dengan mata telanjang. Yang terlihat jelas di bagian tubuhnya adalah klitelum, terletak antara segmen 26/27 – 32. Klitelum merupakan organ pembentukan telur. Warna bagian punggung (dorsal) adalah coklat merah sampai keunguan. Sedangkan warna bagian bawah (ventral) adalah krem. Pada bagian depan (anterior) terdapat mulut, tak bergigi. Pada bagian belakang (posterior) terdapat anus (Listyawan, et.al. 1998).

Cacing tanah tidak dapat dibedakan jenis kelaminnya karena cacing bersifat hermaprodit alias dalam satu tubuh terdapat dua alat kelamin, jantan dan betina. Namun cacing tanah tidak dapat melakukan perkawinan sendirian. Untuk kawin ia membutuhkan pasangan untuk pertukaran sperma (Simandjuntak, 1982).

Cacing tanah termasuk makrofauna berperan sebagai soil ecosystem engineers yaitu memperbaiki struktur, porositas dan aerasi tanah. Ia murni organisme penghancur sampah dan pencacah serasah organik di dalam tanah. Nah, tinggal bagaimana kita dapat memanfaatkan ukuran morfologis dari makrofauna ini untuk mewujudkan sistem pertanian yang berkelanjutan yang ramah lingkungan. Secara logika semakin besar ukuran cacing tanah, seresah organik yang dicacah (dekomposisi) semakin banyak sehingga seresah yang terdiri atas pupuk organik (pupuk kascing) tersebut bisa langsung diserap oleh tanaman.

Dirangkum dari berbagai sumber.

Gambar : dunia-panas.blogspot.com

Selasa, 23 Agustus 2011

INTERAKSI HARA DALAM TANAH

Secara singkat konsep pemupukan berimbang adalah penambahan pupuk ke dalam tanah dengan jumlah dan jenis hara yang sesuai dengan tingkat kesuburan tanah dan kebutuhan hara oleh tanaman untuk meningkatkan produksi dan kualitas hasil komoditas pertanian (Deptan, 2009).

Di dalam pemberian pupuk tertentu tidak dipungkiri bahwa sering kali kita tidak memperhatikan interaksi yang terjadi di dalam tanah setelah aplikasi pupuk terutama pupuk buatan. Memang takaran/dosis yang diaplikasikan ke lahan sudah tertera di dalam kemasan. Tentu kita menyadari bahwa Takaran pupuk yang digunakan untuk memupuk satu jenis tanaman akan berbeda untuk masing-masing jenis tanah, hal ini dapat dipahami karena setiap jenis tanah memiliki karakteristik dan susunan kimia tanah yang berbeda.

Di dalam interaksi ditunjukkan bahwa jika terdapat suatu unsur hara yang berlebih maka akan mengganggu serapan maupun kinerja unsur hara yang lain. Sehingga resikonya adalah pupuk yang diberikan tidak efektif untuk tanaman. Contoh interaksi secara fisiologis (Purwanto, 2009*) sebagai berikut :

Unsur hara berlebih

Keterangan

Nitrogen (N)

Meningkatkan kekahatan Cu dan Boron (B) sehingga meningkatkan kerentanan terhadap serangan hama & penyakit

Fosfor (P)

Mengganggu serapan Cu, Besi (Fe) dan Zn

Kalium (K)

Menimbulkan kekahatan B

Kalsium (Ca)

Menurunkan Serapan B

Tembaga (Cu) dan Sulfat

Menghambat serapan Mo

Cu, Seng (Zn), Mangan (Mn)

Menghambat serapan Fe

K atau Natrium (Na)

Menurunkan serapan Mn dan B

N dan Magnesium (Mg)

Menimbulkan kekahatan Cu

Interaksi hara dalam tanah terdiri dari interaksi positif, negatif maupun netral yang ketiganya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Misal untuk interaksi positif (sinergisme) pada pemberian Zn dapat meningkatkan serapan K dalam tanah, memperbaiki status N, P dan Ca dalam suatu tanaman sehingga mampu meningkatkan produksi. Dalam aplikasinya, pemberian unsur Zn (1000 ppm) melalui daun lebih efektif daripada pemberian lewat tanah atau injeksi.

*Biologi Tanah. Kajian Pengelolaan Tanah Berwawasan Lingkungan, Hibah Penyusunan Buku Ajar DP2M Dikti